Rabu, 21 Januari 2009

A Message to Israel: Time to Stop Playing the Victim Role

Salah seorang warga AS yang mengkritik Israel adalah aktor, sastrawan, sosiolog, dan pengarang buku terkenal "The Pursuit of Loneliness," Philip Slater.

Dalam Huffington Post edisi 6 Januari 2009 yang dipublikasikan lagi Middle East Times pada 19 Januari, Philip menyampaikan opini berjudul, "A Message to Israel: Time to Stop Playing the Victim Role."

Berikut adalah terjemahan artikel Philip.

Di awal tulisannya, Philip menyatakan dia tak bisa memahami Israel yang selama ini dibela bangsanya, berubah menjadi agresor dengan masih saja mendramatisasi nasibnya di masa lalu sebagai korban permusuhan Arab.

"Kalian tak perlu lagi pura-pura menjadi korban. 'Israel yang malang' terdengar aneh manakala kalian justru menjadi kekuatan dominan di Timur Tengah," kata Philip.

Saat kalian menduduki beberapa tetanggamu, membom dan menaklukannya di medan perang, menguasai tanah mereka, dan mengusirnya dari rumah-rumah mereka, maka saatnya untuk berhenti berpura-pura tertindas.

Ya benar, negara-negara Arab menolak keberadaanmu, mengancam akan membuang kalian ke laut, dan semua itu retorika palsu. Faktanya adalah kalian kuat, mereka (Arab) tidak. Kalian punya senjata canggih, mereka tidak. Kalian bersenjata nuklir, mereka tidak. Jadi berhentilah bersikap cengeng. Itu tak laku lagi.

Ya, saya tahu, kami rakyat Amerika mesti berbicara dan selalu bergetar saat mendengar nama teroris, "negara brandal" dan "kekaisaran iblis" saat kami memiliki cukup nuklir untuk meledakkan dunia dan berbelanja senjata lebih besar dari negara manapun. Tetapi, hanya karena kami hipokrit dan gelisah, tidak berarti kalian harus seperti kami.

Philip berkata, menyebut Hamas agresor sungguh tidak pantas karena Jalur Gaza lebih dari sebuah kamp konsentrasi besar Israel di mana warga Palestina diserang semau Israel dan harus menderita kesulitan makan, bahan bakar, energi, bahkan suplai obat-obatan.

"Mereka tidak bisa berkeliaran dan mesti membuat terowongan untuk menyelundupkan kebutuhan hidup sehari-harinya. Mereka tak akan kalian perhatikan jika tidak menembakkan roket-roketnya pada kalian."

Philip menulis, lobi Israel bereaksi sejadi-jadinya manakala mereka dituduh mengadopsi metodologi Nazi yang telah menyiksa mereka, untuk menghukum sebuah bangsa dengan menyerang bagian kecil bangsa itu dan secara konsisten dilakukannya di Gaza.

Israel, demikian Philip, telah melanggar hukum internasional, sebuah hukum yang ironisnya pernah diterapkan untuk mengadili praktik keji yang dilakukan Nazi kepada bangsa Yahudi semasa Perang Dunia Kedua.

"Ayolah, pisahkan kami dari kemunafikan dengan mengatakan setiap upaya Israel adalah demi mencegah korban sipil. Saat kalian menjatuhkan bom-bom di satu kota padat penduduk, kalian membom peradaban. Bom tak pernah bertanya apa KTPmu."

Bom adalah pembunuh rakyat sipil. Bom-bom dirancang untuk menjatuhkan semangat sebuah bangsa dengan membantai keluarga-keluarga. Bom digunakan selama Perang Dunia Kedua oleh semua pihak dengan tujuan meruntuhkan semangat bangsa. Dan ini pula yang dilakukan di Gaza.

Ayolah Israel, cobalah tahan diri kalian untuk tak berkilah dengan argumen menyesatkan yang dipinjam dari Bush, bahwa para pemimpin Hamas bersembunyi di tengah rakyatnya, meninggalkan rumah-rumah mereka.

Yang sesungguhnya terjadi adalah Israel ingin menggiring mereka ke tempat-tempat yang tidak ada penduduknya, padahal tak ada satu pun lahan kosong penduduk dan pemukiman di Gaza. Jadinya, para pejuang Hamas bolak balik di daerah padat penduduk itu."

Philip melanjutkan, Israel telah membom tiga sekolah PBB dan membunuh lusinan anak-anak serta orang dewasa, meskipun faktanya PBB memberi kalian koordinat semua sekolahnya di Gaza agar sekolah-sekolah itu tidak menjadi sasaran pemboman karena PBB ingin mencegah jatuhnya korban sipil dengan tanda itu sehingga kalian tak mungkin membomnya. Alih-alih Israel membom sekolah-sekolah itu.

"Tampaknya kalian merasa bisa membunuh siapapun, kapanpun dan dimanapun kalian suka, hanya karena kalian mendapat restu dari Amerika Serikat," kata Phiilip.

Setiap hari serangan yang dilancarkan ke Pelestina, kalian semakin terlihat melecehkan PBB, masyarakat internasional dan hidup manusia. Persis perilaku negara berandal.

Kalian mungkin juga memberi perhatian pada fakta bahwa kebijakan kuno kalian yang sok jagoan --kebijakan yang kalian lakukan berdekade-dekade-- tidak berhasil!

Bangsa Palestina itu manusia. Mereka bukan anjing yang bisa kalian perintah. Makin buruk kalian perlakukan mereka, makin ingin mereka melawanmu. Itulah arti menjadi manusia. Semakin keras kalian tindas, semakin kuat mereka melawan.

Kami (AS) pernah membom Vietnam dengan jumlah lebih banyak dari seluruh bom yang dijatuhkan selama Perang Dunia Kedua. Itu belum termasuk bom napalm (bom curah), herbisida (bom biologi) dan semua jenis ranjau darat canggih. Tapi, apakah mereka (bangsa Vietnam) lantas bersujud dan mencium lutut penjajahnya? Tidak, mereka pantang tunduk.

Kalian mesti membunuh mereka semua. Dan saat kalian melakukan itu, kalian akhirnya tidak akan lagi didukung siapapun, bahkan Amerika Serikat.

Ingatlah, bahwa dukungan Amerika kepada kalian seluruhnya didasarkan pada gagasan bahwa tidak ada satu pun politisi (AS) memenangkan pemilu tanpa dukungan suara Yahudi.

Tapi tak semua Yahudi Amerika berpikir Israel mengemban misi agung dari Tuhan. Banyak warga Yahudi Amerika lebih mempercayai hukum dan keadilan internasional.

Saya bisa mengerti Israel jengkel mendapat pelajaran seperti ini dari seorang Amerika. Tapi bukankah ini yang telah kami orang Amerika lakukan? Mendatangi negara orang lain, membantai 95% penduduknya untuk kemudian mengambilalihnya?

Ketika yang dirampas tanahnya serentak melawan, agresor (Israel di tanah Arab) panik dan segera menyebut agresinya ke tanah orang lain itu sah meskipun dengan melakukan pembantaian genosidal.

"Mohon maaf saya mesti katakan padamu wahai Israel, kalian ketinggalan zaman. Alasan genosida tidak lagi laku. Saya tahu ini tak adil, kalian memiliki hak untuk tersinggung dengan semua ini, namun dunia itu semakin kecil, gaya koboy itu sudah kuno, dan para algojo tidak lagi menjadi pahlawan," kata Philip menutup tulisannya.Ant/Ya/Huffington Post dan Middle East Times

Tidak ada komentar:

Posting Komentar