Suksesi Sulit Arab Saudi dan Mesir
Minggu, 18 Oktober 2009 - 11:31 wib
RAJA Abdullah dari Arab Saudi dan Presiden Mesir Hosni Mubarak sudah berusia 80-an. Mereka adalah aliansi Amerika Serikat (AS) yang pemerintahannya menghadapi masalah di dalam negeri, tetapi memainkan peranan penting di seluruh penjuru Timur Tengah.
Namun, saat ini, obrolan tentang suksesi di dua negara itu sedang menghangat di saat Washington, bersama Riyadh dan Kairo, berencana menavigasi sebuah era tanpa dua tokoh dominan di kawasan itu. Kedua orang ini sama sekali tidak memberikan indikasi bahwa mereka akan mundur. Masa jabatan Mubarak akan berakhir pada 2011, sedangkan kekuasaan Raja berlangsung selama dia sehat. Namun, baik Mubarak dan Abdullah sama-sama rapuh.
Di Mesir, ada obrolan bahwa putra bungsu presiden, Gamal, akan mengikuti jejak ayahnya dan di Arab Saudi, beberapa skenario kepemimpinan tersimpan rapat di Dewan Saud yang berkuasa. Menurut seorang pejabat Departemen Luar Negeri AS, Washington yakin bahwa hubungan mereka dengan dua negara ini cukup mendalam dan luas untuk bertahan pada suksesi apa pun. Namun, kepada Los Angeles Times, pejabat itu menambahkan, ketiadaan Mubarak yang sudah berkuasa sejak 1980 dan Abdullah yang bertahta pada 2005 tapi menjalankan pemerintahan Arab Saudi sejak 1996--saat mendiang Raja Fahd mengalami stroke-- meningkatkan kecemasan atas masa depan Timur Tengah.
Jejak yang ditinggalkan para pemimpin yang makin senja usianya itu memang tak terhapuskan. Mubarak sudah mempertahankan perdamaian dengan Israel serta mendorong pembentukan negara Palestina. Abdullah mengubah kerajaannya yang kaya minyak menjadi kekuatan diplomatik setelah Riyadh punya pengaruh kuat dari Beirut sampai Kabul. Pasangan itu sudah mengesampingkan dendam masa lalu negara mereka untuk bekerja sama menghadapi apa yang mereka anggap sebagai ancaman utama dunia Arab: prospek negara nuklir Iran dan kekerasan yang disulut militan dari Afrika Utara sampai Indonesia.
Strategi mereka diperkirakan tidak akan diikuti pengganti mereka, terutama karena pemimpin baru akan berasal dari orang dalam rezim berkuasa saat ini. Apa yang akan hilang adalah pengalaman puluhan tahun dan muka dunia yang sudah tumbuh bersama Mubarak (81)(dengan kacamata besarnya dan salut dari Angkatan Laut) serta Abdullah (85), pengawalnya yang superbanyak dan jenggot panjangnya. "AS seharusnya mencemaskan kemungkinan kedua pemimpin ini menghilang dari peredaran. Iran dan Suriah akan mengeksploitasi menghilangnya Mubarak dan Raja Abdullah," tutur Amr Hamzawy, ahli Timur Tengah di Carnegiw Endowment for International Peace.
Namun, Nabil Fahmy, mantan Duta Besar Mesir untuk AS, mengungkapkan, "Saya tidak mengkhawatirkan perubahan kepemimpinan sebagaimana dicemaskan Barat." Yang berada di puncak daftar pengganti potensial di Mesir adalah putra Mubarak,Gamal,45,dan Omar Suleiman yang pada 1970-an adalah teman presiden dan kepala jaringan intelijen negara itu.
Gamal kurang memiliki pengalaman pemerintahan dan kebijakan luar negeri, tapi mendukung reformasi ekonomi dan tampak lebih memperhatikan hak asasi manusia daripada ayahnya. Suksesi di Arab Saudi terbelit pada umur, penyakit, dan perebutan kuasa di dalam tubuh keluarga kerajaan antara kaum moderat dengan garis keras. Ahli waris langsung adalah Putra Mahkota Sultan bin Abdulaziz. Dia berusia awal 80-an dan menderita sakit selama bertahun-tahun. Di belakangnya adalah Pangeran Nayef bin Abdulaziz (76), Menteri Dalam Negeri Arab Saudi, yang tahun ini diangkat Abdullah sebagai deputi perdana menteri.
Mubarak dan Abdullah dilihat sangat kuat menghadapi tekanan dalam negeri. Mubarak berkuasa setelah Anwar Sadat, pemimpin sebelumnya, dibunuh. Mubarak terus berkuasa dengan memberlakukan undang-undang darurat selama hampir 28 tahun. Abdullah ditunjuk sebagai putra mahkota pada 1982 dan telah menjalankan roda pemerintahan di Arab Saudi setelah Fahd, kakak tirinya, sakit. Usahanya melakukan reformasi memenangkan banyak pujian. Namun dia dikritik karena tidak terlalu keras kepada kaum konservatif dan tidak memberikan kebebasan bagi wanita.
"Memprediksikan apa yang akan terjadi di Arab Saudi sangatlah sulit," ujar Mohammad Fahad Qahtani, reformis dan asisten dosen ekonomi di Institute of Diplomatic Studies. "Anda tinggal di surga minyak. Negara ini adalah gudang uang, tapi Anda punya pengangguran dan 30% rakyatnya hidup miskin. Hanya 22% keluarga yang punya rumah sendiri." "Ini adalah gambaran sebenarnya. Rezim itu kehilangan kredibilitas," imbuhnya.
Senin, 19 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar